Teks & Foto oleh Rizal Affif (@pedallingcoasting) 

"HATI-HATI SAMA OMONGAN," Aryo, salah satu panitia BS Rides 500, mewanti-wanti. 

Saya mungkin tampak terlalu antusias waktu tahu bahwa rute tahun 2023 akan melewati pantai selatan Jawa Barat. Namun peringatannya masuk akal; keindahan jalur selatan Jawa Barat harus dibayar dengan ekstra tanjakan yang signifikan. Total elevasi pada rute tahun 2023 ini tercatat sekitar 6.200 m—meningkat 30% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Nah, jalur yang mencakup pesisir selatan Jawa Barat—yang pertama dari beberapa hal pertama lainnya.

28 DESEMBER. Jam menunjukkan pukul 5.15 pagi. Setelah mengisi kartu brevet dan briefing singkat di Bikesystem, 35 pesepeda meluncur turun menyusuri jalan Dago, Bandung, lalu bergerak menuju barat. 

Jalan menuju Padalarang relatif datar, lalu menurun ke Cipatat, sebelum naik perlahan menuju Cianjur, km 64. Dari sana, rute berbelok ke selatan, dan kami harus menghadapi tanjakan besar pertama dari Cibeber, km 82, ke Sukanegara. 

Sebuah kesalahan taktis: Saya dan Fajar—partner riding saya kali ini—mencapai puncak pendakian Sukanegara, km 115, 75 menit lebih cepat dari jadwal. Kami sampai di tempat makan alternatif kedua, km 126, 45 menit lebih cepat dari jadwal makan siang. Jadi kami memutuskan untuk makan siang di tempat berikutnya lagi, tanpa menyadari fakta bahwa kami harus melewati tanjakan curam lagi untuk sampai ke sana. Sungguh, menghadapi tanjakan dengan perut keroncongan bukanlah hal yang menyenangkan.

Dari pemberhentian makan siang kami di km 144, jalanan masih sedikit menanjak. Kami bertemu dengan sesama peserta di sana. Pemandangan lanskap sekitar sangat indah. 

Kemudian jalan mulai menurun, membawa kami menuju pantai laut selatan. 

SEPULUH JAM TELAH BERLALU saat kami tiba di jalur pantai selatan di Sindangbarang, km 174. Setelah singgah sesaat di minimarket, Elba bergabung dengan kami. Seolah kami mengulang perjalanan “Mountain to Seashore” Agustus sebelumnya. Bedanya, kali ini, kami sama-sama disponsori oleh Polygon, dan mengendarai Tambora G model terbaru. Sekilas, semua tampak bagus. 

Namun, saat kami melanjutkan perjalanan ke timur, masalah muncul. Entah mengapa, Elba terus tertinggal, bahkan di jalan datar—sebuah kondisi yang sangat tidak biasa. Dan ketika ia akhirnya menyusul saat saya dan Fajar berhenti untuk berfoto, ia bilang ia mungkin tidak akan bisa melanjutkan ke Santolo malam itu, seperti yang kami rencanakan.

Jalan menuju Cidaun, km 200, sebagian besar datar. Dari sana, tanjakan sepanjang 5,5 km kembali menguji endurance kami—demikian pula dengan jalan rolling berbukit-bukit setelahnya. 

Mentari mulai terbenam, mewarnai lanskap dengan semburat jingga, saat kami mengisi perbekalan terakhir di minimarket di km 225—hanya beberapa km dari checkpoint 1. Rintik hujan mulai turun, membasahi bumi, membasahi kami.

Langit menjelma hitam, saat kami tiba di checkpoint 1 di Joglo Ciwaru, km 229. Robby, salah satu peserta lain, menguatkan ajakan Elba untuk bermalam di sana. Kami kuyup dan kelelahan, sementara jalur yang berbukit-bukit basah dan gelap. Kenapa repot-repot memaksakan diri mengayuh 30 km tambahan sampai ke Santolo? Kenapa tidak menghadiahi diri kami sendiri dengan istirahat lebih awal?

Dua porsi mie rebus telor, dan kenyamanan kamar tidur yang telah Elba pesan, meyakinkan saya untuk tetap tinggal, meski mengetahui bahwa hal itu berarti kami harus membayar 30 km ekstra keesokan paginya. 

PAGI HARI BERIKUTNYA DIBUKA DENGAN SEBUAH KEJUTAN: Elba memutuskan mundur dari acara. Rasanya seperti déjà vu dari perjalanan “Mountain to Seashore” sebelumnya, saat saya harus melanjutkan perjalanan hari kedua tanpanya. 

Untungnya, kali ini, masih banyak teman riding lainnya. Kami meninggalkan Joglo Ciwaru jam 4 pagi, terlambat satu jam dari yang direncanakan.

Mentari mulai terbit setelah kami selesai melewati jalan berbukit dan tiba di Santolo, km 256. Di sana, kami menyerbu sebuah gerobak bubur ayam; kami membutuhkan sarapan yang layak untuk membantu kami menghadapi tanjakan yang menanti di depan.

Setelah mengayuh 20 km jalan datar dari Santolo, kami sampai di awal tanjakan Sancang. Bagi saya, segmen ini adalah bagian rute yang paling indah. Sebagian besar dari kami “bercita-cita” menyambut matahari terbit di sini, namun bahkan pada pukul 6.30 pagi, awan tebal tampak menutup langit. Baru belakangan, ketika kami mulai meluncur turun dari puncaknya, awan mulai terbuka sedikit.

Dari Sancang, jalan ke arah timur sepenuhnya datar. Di km 302, kami melakukan sesi foto terakhir ke arah laut. Sebab, dari sana, jalan mulai berbelok ke utara, dan kami akan mulai berjuang melawan rentetan tanjakan panjang sampai ke garis finish. 

Saat itu, saya belum tahu: rentetan tanjakan bukanlah satu-satunya tantangan yang harus saya hadapi… 

KM 361. Soto sulung campur memanjakan lidah, dan 2 gelas es jeruk memuaskan dahaga. Namun, bukan saja kami terlambat 2 jam dari jadwal; lutut kiri saya juga terasa nyeri—sebuah pengalaman bersepeda pertama lainnya bagi saya. Saya bilang ke Fajar, saya mungkin akan mundur dari acara di Tasikmalaya, km 375, jika kondisi lutut saya memburuk. Untungnya, kompresi es batu cukup membantu. Saya dapat mengeluarkan sekitar 80% dari power rata-rata saya sepanjang rangkaian tanjakan panjang. Demikian, hingga sebuah segmen terjal antara km 416-422 kembali menghajar lutut saya, dan memaksa saya untuk hanya mengandalkan kaki kanan untuk melewatinya.

Ajaibnya, saya berhasil sampai di checkpoint 2 di Hanjuang Garut, km 441, jam 6 sore—kembali sesuai jadwal! Saya melaporkan masalah saya pada Yudi, panitia yang menyambut kami, dan orang-orang di Hanjuang memberi saya sekantung es batu. Saya mengompres lutut sambil menikmati sepiring Nasi Goreng Singapura dan segelas Lemon Sereh hangat. 

Sayangnya, kali ini kompresi es tidak membantu.

Sebaliknya, berendam di kolam air panas berhasil meredakan nyeri. Dibantu istirahat tambahan selama 2 jam di sana, saya pun siap melanjutkan perjalanan. Toh jarak yang tersisa hanya 62 km, dengan 3 ruas tanjakan di antaranya. 

Dengan mengikuti pace Robby yang santai dan konstan, saya berhasil melewati 2 tanjakan pertama tanpa masalah. Namun, tanjakan Nagrek—yang terakhir, yang tercuram, dan yang terpanjang dari 3 tanjakan terakhir—menyakiti lutut saya lebih dari sebelumnya. Bahkan mengimbangi kecepatan Robby 20-25 km/jam di jalan datar pun mustahil. Saya pun mempersilakan Robby dan Fajar meninggalkan saya. 

Saya mencoba kompresi es loli, saya mengoles krim pereda nyeri, namun tidak ada yang berhasil. Dengan sisa jarak 20 km, saya mengayuh hanya dengan kaki kanan, merayap 15 km/jam, untuk mencapai garis finish.

DAN DI SANALAH SAYA. Kembali ke tempat perjalanan dimulai, 43,5 jam sebelumnya. Senang sekali bisa menyelesaikannya, terlebih masih di bawah cut-off time 48 jam. 

Terima kasih khususnya kepada Bikesystem sebagai penyelenggara acara, maupun kepada Polygon yang telah menyediakan sepeda yang lebih dari mumpuni untuk menjalaninya.

HAL PERTAMA LAINNYA DI BS RIDES 500 TAHUN 2023: alih-alih mengendarai Surly Midnight Special, tahun ini saya mengendarai sepeda allroad/gravel carbon baru dari Polygon—Tambora G7. Dengan mengganti ban bawaan dengan ban road berperforma tinggi—saya menggunakan Schwalbe Pro One TLE 700×34 kali ini—sepeda ini menjelma endurance bike yang sempurna.

Saya membiarkan flip-chip pengubah geometri dalam mode “speed gravel” untuk menambah stabilitas, untuk membantu saya mengatasi kelelahan maupun menjepret foto dari atas sadel. Namun saat melibas turunan panjang yang berkelok-kelok, saya berpikir mungkin saya akan lebih menikmati handling yang lebih lincah dari mode “allroad”. 

Review lengkap tentang sepeda ini akan menyusul. Stay tuned!

What you can read next